Perjalanan yang harus di tempuh dari Kota bulukumba
menuju Desa Ammatoa + 2 jam perjalanan. Sepanjang jalan, kita bisa
melihat ribuan pohon karet dan coklat yang tertata rapi. Setelah sampai di
rumah kepala desa Kajang, kita masih harus membutuhkan puluhan menit menuju
kawasan adat Desa Ammatoa.
Sesampai di Ammatoa, kami diberi pengarahan sebelum
masuk, kami juga didampingi oleh seorang warga disana yang menjadi guide kami. Ada
beberapa peraturan yang wajib kita patuhi. Pengunjung harus menggunakan pakaian
berwarna hitam, tidak boleh meludah sembarangan, tidak boleh membuang sampah
dan tidak boleh mengambil gam,bar Ammatoa, istri, beserta isi rumahnya.
Kami harus berjalan kaki untuk masuk ke kawasan tersebut,
karena tidak ada alat transportasi yang bisa digunakan di dalam desa Ammatoa. Karena
hujan baru saja turun, jalanan berbatu yang kami lewati sangat licin, jadi kami
harus berhati-hati dan lebih baik berjalan dengan kaki telanjang daripada
menggunakan sendal, karena tanah terlalu lembek. Sepanjang perjalanan menuju
rumah sang Ammatoa, saya mengamati sekeliling saya. Di samping kanan kiri
seperti hutan, tetapi setelah berjalan agak jauh ke dalam, saya sudah menemukan
rumah-rumah penduduk. Rumah mereka adalah rumah panggung, dinding terbuat dari
papan, dan atap terbuat dari daun rumbia dan juga mereka tidak mewarnai rumah
mereka.
Sampai di depan rumah sang Ammatoa, kami harus menunggu
giliran untuk masuk. Setelah masuk di rumah Ammatoa, saya memperhatikan isi
rumahnya. Di bagian bawah, di samping tangga,terdapat wc kecil. Di depan rumah
tidak ada teras. Di sisi kanan rumah, terdapat dapur dan di bagian kiri,
ruangan kosong, mungkin sebagai ruangan untuk menerima tamu. Dan di bagian
belakang yang dibatasi dinding adalah kamar. Tidak ada hiasan dinding yang
terdapat di rumah mereka seperti di rumah orang pada umumnya. Yang terlihat
hanya obor-obor kecil yang digunakan sebagai lampu. Lantai rumah beralaskan
tikar yang katanya dianyam sendiri.
Melihat wajah Ammatoa yang sangat ramah menghilangkan
segala fikiran buruk saya tentang sosok Ammatoa, isi rumahnya beserta
keluarganya. Ternyata sangat berbeda dengan dugaan saya. Setelah
berbincang-bincang dengan sang Ammatoa, saya sendiri jadi tahu lebih banyak
lagi informasi tentang desa iniyang menolak modernisasi karena ingin bertahan
dengan adat lama yang sudah digariskan dari keturunan mereka yang terdahulu. Di
dalam kawasan adat Ammatoa ini tidak ada fasilitas umum seperti pasar dan sekolah.
Karena itu apabila ingin membeli bahan makanan dan lainnya, mereka harus pergi
ke pasar yang ada di luar kawasan ini, begitu pun dengan anak-anak yang mau
bersekolah, tidak ada larangan bagi mereka, mereka bisa bersekolah di luar
kawasan ini tetapi tetap membawa adat istiadat desa Ammatoa.
Seperti yang kita ketahui selama ini, bahwa Kajang dan
kawasan Adat Desa Ammatoa identik dengan warna hitam yang banyak disalahartikan
oleh kebanyakan orang bahwa warna hitam itu berbau mistis. Sebenarnya pakaian yang
mereka gunakan itu berwarna hitam putih, dimana penutup kepala, pakaian, dan
celana berwarna hitam, sedangkan pakaian dalam berwarna putih merupakan simbol
dari warna bola mata kita, hitam dan putih dan tidak memakai alas kaki. Saya
sedikit heran ketika memasuki kawasan ini, ada banyak anak-anak dan remaja yang
memakai pakaian bukan berwarna hitam. Ternyata, pakaian warna hitam hanya wajib
digunakan bagi mereka yang berusia > 40 tahun.
Sebelum anak-anak mereka diperbolehkan untuk menikah,
mereka harus terlebih dahulu bisa bekerja di dapur dan di sawah, bisa
mengerjakan pekerjaan sehari-hari dalam mengurus rumah dan mencari uang. Bagi
wanita harus belajar menenun untuk menghasilkan kain yang bisa mereka jual dan
untuk laki-laki belajar menganyam daun lontarak menjadi tikar dan keranjang.
Untuk upacara pernikahan, ada beberapa ketentuan tentang mahar yang harus
diberikan sang pelamar, yaitu tujuh tae (kerbau) untuk masyarakat kalangan
atas, untuk ada’ 5, Pattolu 4 dan untuk karaeng tidak ditentukan berapa, itu
tergantung persetujuan kedua belah pihak.
Pekerjaan yang dikerjakan oleh masyarakat desa Ammatoa
kebanyakan bertani. Ada banyak lahan yang bisa mereka manfaatkan untuk bertani.
Hasil tani merkea dapat mereka jual di pasar untuk membeli kebutuhan
sehari-hari mereka. Mereka juga tidak ada larangan untuk bekerja di luar desa
Ammatoa, selama mereka masih bisa menjunjung tinggi adat istiadat desa Ammatoa.
Ammatoa bercerita bahwa bahkan ada saudaranya yang bekerja di luar negeri tapi
ia tetap memegang erat adat istiadatnya.
Kegiatan terbesar yang dilaksanakan yaitu pemilihan ketua
Adat Desa Ammatoa yang disebut Angnganro. Karena masa jabatan Ammatoa seumur
hidup, maka untuk memilih Ammatoa yang baru harus menunggu sampai tiga tahun setelah
kematian sang Ammatoa. Pada tahap terakhir, para kandidat disuruh berwudhu di
sebuah sungai yang konon katanya air sungai tersebut merupakan bayangan Zam
Zam. Hanya salah satu dari kandidat tersebut yang mendapat restu dari Allah
yang akan terpilih, jadi kandidat yang tidak terpilih akan lumpuh, tidak bisa
berdiri pada saat itu juga. Sungguh fenomena yang luar biasa dan tidak bisa
diterima oleh akal sehat, tapi itu benar terjadi.
Konon katanya, penduduk desa Ammatoa awet muda dan sehat
selalu. Kenapa? Karena mereka tidak makan makanan berpengawet, makanannya
alamiah, alamnya hijau tidak ada polusi, intinya kehidupan mereka sangat
selaras dengan alam.
Kami sedikit kecewa karena
waktu yang sangat terbatas membuat kami tak bisa mengutarakan beberapa pertanyaan
yang ingin kami tanyakan. Kami pun segera keluar dari kawasan ini sebelum hari
terlalu gelap. Ternyata, kawasan adat desa Ammatoa yang saya bayangkan
sebelumnya, yang berbau mistis tidak seseram yang saya lihat setelah saya
mengunjungi desa ini.
saya tertarik akan desa Ammatoa.
BalasHapusanda tidak menginap yah?
Apa ada peraturan lainnya yg perlu kita patuhi?