Music

Sabtu, 16 Juni 2012

Kawasan Adat Ammatoa

Perjalanan yang harus di tempuh dari Kota bulukumba menuju Desa Ammatoa + 2 jam perjalanan. Sepanjang jalan, kita bisa melihat ribuan pohon karet dan coklat yang tertata rapi. Setelah sampai di rumah kepala desa Kajang, kita masih harus membutuhkan puluhan menit menuju kawasan adat Desa Ammatoa.
Sesampai di Ammatoa, kami diberi pengarahan sebelum masuk, kami juga didampingi oleh seorang warga disana yang menjadi guide kami. Ada beberapa peraturan yang wajib kita patuhi. Pengunjung harus menggunakan pakaian berwarna hitam, tidak boleh meludah sembarangan, tidak boleh membuang sampah dan tidak boleh mengambil gam,bar Ammatoa, istri, beserta isi rumahnya.
Kami harus berjalan kaki untuk masuk ke kawasan tersebut, karena tidak ada alat transportasi yang bisa digunakan di dalam desa Ammatoa. Karena hujan baru saja turun, jalanan berbatu yang kami lewati sangat licin, jadi kami harus berhati-hati dan lebih baik berjalan dengan kaki telanjang daripada menggunakan sendal, karena tanah terlalu lembek. Sepanjang perjalanan menuju rumah sang Ammatoa, saya mengamati sekeliling saya. Di samping kanan kiri seperti hutan, tetapi setelah berjalan agak jauh ke dalam, saya sudah menemukan rumah-rumah penduduk. Rumah mereka adalah rumah panggung, dinding terbuat dari papan, dan atap terbuat dari daun rumbia dan juga mereka tidak mewarnai rumah mereka.
Sampai di depan rumah sang Ammatoa, kami harus menunggu giliran untuk masuk. Setelah masuk di rumah Ammatoa, saya memperhatikan isi rumahnya. Di bagian bawah, di samping tangga,terdapat wc kecil. Di depan rumah tidak ada teras. Di sisi kanan rumah, terdapat dapur dan di bagian kiri, ruangan kosong, mungkin sebagai ruangan untuk menerima tamu. Dan di bagian belakang yang dibatasi dinding adalah kamar. Tidak ada hiasan dinding yang terdapat di rumah mereka seperti di rumah orang pada umumnya. Yang terlihat hanya obor-obor kecil yang digunakan sebagai lampu. Lantai rumah beralaskan tikar yang katanya dianyam sendiri.  
Melihat wajah Ammatoa yang sangat ramah menghilangkan segala fikiran buruk saya tentang sosok Ammatoa, isi rumahnya beserta keluarganya. Ternyata sangat berbeda dengan dugaan saya. Setelah berbincang-bincang dengan sang Ammatoa, saya sendiri jadi tahu lebih banyak lagi informasi tentang desa iniyang menolak modernisasi karena ingin bertahan dengan adat lama yang sudah digariskan dari keturunan mereka yang terdahulu. Di dalam kawasan adat Ammatoa ini tidak ada fasilitas umum seperti pasar dan sekolah. Karena itu apabila ingin membeli bahan makanan dan lainnya, mereka harus pergi ke pasar yang ada di luar kawasan ini, begitu pun dengan anak-anak yang mau bersekolah, tidak ada larangan bagi mereka, mereka bisa bersekolah di luar kawasan ini tetapi tetap membawa adat istiadat desa Ammatoa.
Seperti yang kita ketahui selama ini, bahwa Kajang dan kawasan Adat Desa Ammatoa identik dengan warna hitam yang banyak disalahartikan oleh kebanyakan orang bahwa warna hitam itu berbau mistis. Sebenarnya pakaian yang mereka gunakan itu berwarna hitam putih, dimana penutup kepala, pakaian, dan celana berwarna hitam, sedangkan pakaian dalam berwarna putih merupakan simbol dari warna bola mata kita, hitam dan putih dan tidak memakai alas kaki. Saya sedikit heran ketika memasuki kawasan ini, ada banyak anak-anak dan remaja yang memakai pakaian bukan berwarna hitam. Ternyata, pakaian warna hitam hanya wajib digunakan bagi mereka yang berusia > 40 tahun.
Sebelum anak-anak mereka diperbolehkan untuk menikah, mereka harus terlebih dahulu bisa bekerja di dapur dan di sawah, bisa mengerjakan pekerjaan sehari-hari dalam mengurus rumah dan mencari uang. Bagi wanita harus belajar menenun untuk menghasilkan kain yang bisa mereka jual dan untuk laki-laki belajar menganyam daun lontarak menjadi tikar dan keranjang. Untuk upacara pernikahan, ada beberapa ketentuan tentang mahar yang harus diberikan sang pelamar, yaitu tujuh tae (kerbau) untuk masyarakat kalangan atas, untuk ada’ 5, Pattolu 4 dan untuk karaeng tidak ditentukan berapa, itu tergantung persetujuan kedua belah pihak.
Pekerjaan yang dikerjakan oleh masyarakat desa Ammatoa kebanyakan bertani. Ada banyak lahan yang bisa mereka manfaatkan untuk bertani. Hasil tani merkea dapat mereka jual di pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka. Mereka juga tidak ada larangan untuk bekerja di luar desa Ammatoa, selama mereka masih bisa menjunjung tinggi adat istiadat desa Ammatoa. Ammatoa bercerita bahwa bahkan ada saudaranya yang bekerja di luar negeri tapi ia tetap memegang erat adat istiadatnya.
Kegiatan terbesar yang dilaksanakan yaitu pemilihan ketua Adat Desa Ammatoa yang disebut Angnganro. Karena masa jabatan Ammatoa seumur hidup, maka untuk memilih Ammatoa yang baru harus menunggu sampai tiga tahun setelah kematian sang Ammatoa. Pada tahap terakhir, para kandidat disuruh berwudhu di sebuah sungai yang konon katanya air sungai tersebut merupakan bayangan Zam Zam. Hanya salah satu dari kandidat tersebut yang mendapat restu dari Allah yang akan terpilih, jadi kandidat yang tidak terpilih akan lumpuh, tidak bisa berdiri pada saat itu juga. Sungguh fenomena yang luar biasa dan tidak bisa diterima oleh akal sehat, tapi itu benar terjadi.
Konon katanya, penduduk desa Ammatoa awet muda dan sehat selalu. Kenapa? Karena mereka tidak makan makanan berpengawet, makanannya alamiah, alamnya hijau tidak ada polusi, intinya kehidupan mereka sangat selaras dengan alam.
Kami sedikit kecewa karena waktu yang sangat terbatas membuat kami tak bisa mengutarakan beberapa pertanyaan yang ingin kami tanyakan. Kami pun segera keluar dari kawasan ini sebelum hari terlalu gelap. Ternyata, kawasan adat desa Ammatoa yang saya bayangkan sebelumnya, yang berbau mistis tidak seseram yang saya lihat setelah saya mengunjungi desa ini.

1 komentar:

  1. saya tertarik akan desa Ammatoa.
    anda tidak menginap yah?
    Apa ada peraturan lainnya yg perlu kita patuhi?

    BalasHapus