Music

Jumat, 29 Juni 2012

masakan-masakanku yang sempat kejepret kamera :D

Sudah hampir tiga minggu, saya mesti masak-masak sendiri. Pertamanya masih kaku, lemot, rasanya keasinan, tidak enak, dan lain-lain :D
Tapi lama-lama sudah terbiasa, malah jadi hobi masak.. :D
check it out masakan"ku.. :D



Yang di atas itu makanan makanan yang rasanya lumayan enak..
kalo yang dibawah ini yang GATOTT (gagal total) 
hahhaha :D



Ini sayurnya dipanasin, trus ditinggal masuk ke kamar gara-gara mau ngafal *Mr. Young and The Lighting
Pas berhasil hafal, baru keingat sayur yang malang,
jadinya begitu.. :D

Ini kue bolu ijo, bukan kue bolu coklat.. :D
Kenapa pinggirnya itam?
karena yang buat baru belajar,
pembuatnya tidak tau kalo bakar kue bgituan pake api kecil, pembuatnya kira pake api biasa yang normal.. :D

Mamaku masih lama kayaknya sembuh,
jadi masih mesti masak sendiri sampai beberapa minggu kedepan.
semangat ulfah cantipp.. \^_^
selamat belajar memasak masakan baru
slalu ingat kata-kata ini:
*siapa yang belajar, dia yang tahu,
nanti kalo ada suami mu itu, baru kau rasa smua..

no comment kalo sudah bilang bgitu -_-'

Senin, 18 Juni 2012

Hari Kedelapan


Semua pekerjaan terasa lebih mudah dikerjakan, ini mungkin karena sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Masak memasak pun juga semakin bagus, bisa masak sayur baru, bisa membersihkan ikan lebih baik (tapi masih tetap tidak bersih sepenuhnya :D ).

Everythings gonna be okay.
Jadi banyak waktu yang bisa saya gunakan untuk bersantai. Sampai-sampai saya ketiduran. Pas bangun tidur, badan terasa pegal-pegal, kaku, badan jadi tambah hangat. Huhh..  kayaknya mau sakit. :’(

Kuat kuat kuat, harus kuat. Maksain diri bangun tuk shalat.. :’(
Abis, shalat, bikin susu, panasin makanan, dadar telur, masak cumi, cuci piring sambil nangis (teriak dalam hati :: somebody help me.. :’( )

Betul-betul kalo’ mama sakit, lumpuh urusan rumah tangga. Mamaku sakit, trus saya yang gantikan pekerjaan-pekerjaannya, kalo saya juga sakit bagaimana? :(

Kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat kuat
(maksanyaaaaaaaaaaaaaa..) :D

Minggu, 17 Juni 2012

Hari Ketujuh :: Luar Biasa

Hari ini sangat luar biasa bagi seorang Ulfah Alfiyyah Abu.
Hari yang super duper melelahkan..
Hari dimana saya dapat pelajaran baru lagi..
Hari dimana saya harus belajar bersabar..
Dan sebagainya..

Hari ini bangun paginya telat.. :D
Pas dengar bunyi sms, liat hp, eh sudah jam 6 lewat..
meski masih ngantuk, saya harus ngurungin niat tuk tidur lagi
, karena mesti nge-laukin pekerjaan seperti biasanya,
wake up, pray, make a
glass of coffee, tea, sweeping, mopping, wiping, setting, cooking, washing.. :D
(itu kata-kata kerja diatas diketik nda’ sampe semenit, tapi kalo dilakukan butuh waktu berjam-jam)
Hemmm..
Masak-masak sendiri, jadi keingat Sri Qadry yang kemarin-kemarin temani saya masak (meskipun dia Cuma liat-liat) :D
Bapakku masuk dapur, bawa ikan, trus bilang, ini ikan bersihkan, trus dibakar.
WHAAAATTTT?
DIBERSIHKAN?
Saya tidak pernah dan tidak tahu bersihkan ikan.. :’(
Ide cemerlang pun keluar, *sms irma sama phute’ bagaimana caranya membersihkan ikan :D
Irma yang baik hati langsung reply sms ku dan menjelaskan panjang lebar tata caranya, yang intinya yang dibuang itu insang sama isi perutnya..
Meksi pun saya tidak terlalu mengerti dengan penjelasannya irma, saya langsung menuju TKP, ambil tiga ekor ikan, rendam dia air, mencoba membuka *kepala (tidak tahu apa namanya) di sisi pertama dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk. Menarik insang keluar, dan yaaaaaaahhh.. putus.. Mencoba menarik kembali sisa yang putus, dan isi perutnya tidak berhasil keluar. Meninggalkan ikan pertama dan beralih ke ikan kedua. Dengan sekuat tenaga menarik dengan menggunakan kelima jariku, akhirnya berhasil juga.. :D (Senangnya minta ampun) Ikan terakhir juga berhasil dibersihkan. Setelah membersihkan isi dalam ikan, selanjutnya membersihkan sisik sisik ikan. Dulu waktu kecil saya suka bersihkan sisik ikan, sangat gampang. Tapi sekarang kenapa jadi susah? Malah muncrat muncrat kemana-mana. Huuuuuhhh
Untung cobaan ini berhasil saya lalui.. :D
Setelah semua makanan siap saji, saya ke kamar, mau tanya mamaku, sudah mau makan atau blum, tapi ternyata blum mau trus saya juga kaget karena di kamar sudah ada om om dan tante tante.. Sejak kapan mereka datangnya? Coba saya tahu datang dari tadi, saya tidak usah susah payah membersihkan ikan, lebih baik suruh tante-tante.. :D
Sempat heran juga, kompak benar mereka datangnya, apa sudah janjian. Mereka yang 5 pasang ribut dan rempongnya minta ampun, untung saudaranya mamaku yang 6 orang lagi tidak datang, blum lagi tambah anak-anak yang nakal.. aduuuuuhhh mati k’.. Ini saja banyak skalimi suruh-suruhnya smua. Yang bikin saya heran, kenapa coba saya terus yang disuruh?
Pertama datang kan, sya bikinin teh (cewek,cowok, biar satu kali bikin) :D
Trus mamaku suruh bakar ikan lagi, karena mereka sekalian makan siang di rumah, ok fine. (mesti membersihkan ikan lagi L ) Sambil menunggu ikan matang, sempet-sempetin ol (semenit tidak ol, serasa mau gila :D) Abis makan siang, saya cuci piring (lagi lagi sendiri). Trus, om ku yang paling ganteng suruh bikin kopi, saya yang tidak tahu bikin, suruh tanteku nyampur kopi, gula, dan susunya, biar nanti tinggal disiram air panas. Sudah itu, saya nyuci (biasanya kan orang nyuci pagi, ini siang). Melihat omku yang ganteng minum kopi, eh om yang lebih ganteng juga pengen, trus suruh saya lagi (--‘ nda’ liat sya lagi nyuci? Kenapa tidak suruh tante tante saja? *ngeluh dalam hati). Kopi jadi, sudah, lanjut nyuci lagi. Belum selesai mencuci satu baju, eh, om yang the most ganteng suruh bikin susu (huaaaaaaahhh *belum pernah liat gorila marah?). Tapi karena saya baik hati, berdirilah saya, trus bikinin susu. Kalo sampe sebentar ada lagi yang minta, saya tidak tahu sikap apa yang bakalan saya tunjukkan. :D
Alhamdulillah, setelah cucian selesai, tidak ada yang nyuruh-nyuruh lagi.. :D
Abis menjemur, niat maut idur-tiduran, istirahat, eh si tante yang paling cantik suruh goreng ubi yang tadi mereka borong dari penjual sayur depan rumah. Huuuuuuhhhh.. Sabaaaarr.. :D
Betul-betul ujian hari ini. Mana rymahku yang tadinya bersih skali, lantainya mengkilap sampe sampe bisa dipakai buat ngaca jadi kotor, jelek, udik. Hikshikshiks.setressku.. beginimi juga mungkin mamaku biasa rasa, jadi biasa marah marah kalo kotor. :D Kembali membersihkan (sweeping, mopping).
Sore pun berakhir, saya yang ketiduran tidak melihat mereka pulang.  Bangun tidur terkaget-kaget melihat lantai kotor lagi dan banyak cucian piring. Sabar Ulfah.. :D Tidak tahu kenapa, tidak ada perasaan marah yang saya rasa, cuman ngeluh sedikit, tapi tetap senang mengerjakan itu smua.. :D (beruntunglah mereka merka yang membuatku hampir kehilangan kesabaran hari ini)
  
Mama cepat sembuh, kasian anakmu ini.
:D





Sabtu, 16 Juni 2012

Kawasan Adat Ammatoa

Perjalanan yang harus di tempuh dari Kota bulukumba menuju Desa Ammatoa + 2 jam perjalanan. Sepanjang jalan, kita bisa melihat ribuan pohon karet dan coklat yang tertata rapi. Setelah sampai di rumah kepala desa Kajang, kita masih harus membutuhkan puluhan menit menuju kawasan adat Desa Ammatoa.
Sesampai di Ammatoa, kami diberi pengarahan sebelum masuk, kami juga didampingi oleh seorang warga disana yang menjadi guide kami. Ada beberapa peraturan yang wajib kita patuhi. Pengunjung harus menggunakan pakaian berwarna hitam, tidak boleh meludah sembarangan, tidak boleh membuang sampah dan tidak boleh mengambil gam,bar Ammatoa, istri, beserta isi rumahnya.
Kami harus berjalan kaki untuk masuk ke kawasan tersebut, karena tidak ada alat transportasi yang bisa digunakan di dalam desa Ammatoa. Karena hujan baru saja turun, jalanan berbatu yang kami lewati sangat licin, jadi kami harus berhati-hati dan lebih baik berjalan dengan kaki telanjang daripada menggunakan sendal, karena tanah terlalu lembek. Sepanjang perjalanan menuju rumah sang Ammatoa, saya mengamati sekeliling saya. Di samping kanan kiri seperti hutan, tetapi setelah berjalan agak jauh ke dalam, saya sudah menemukan rumah-rumah penduduk. Rumah mereka adalah rumah panggung, dinding terbuat dari papan, dan atap terbuat dari daun rumbia dan juga mereka tidak mewarnai rumah mereka.
Sampai di depan rumah sang Ammatoa, kami harus menunggu giliran untuk masuk. Setelah masuk di rumah Ammatoa, saya memperhatikan isi rumahnya. Di bagian bawah, di samping tangga,terdapat wc kecil. Di depan rumah tidak ada teras. Di sisi kanan rumah, terdapat dapur dan di bagian kiri, ruangan kosong, mungkin sebagai ruangan untuk menerima tamu. Dan di bagian belakang yang dibatasi dinding adalah kamar. Tidak ada hiasan dinding yang terdapat di rumah mereka seperti di rumah orang pada umumnya. Yang terlihat hanya obor-obor kecil yang digunakan sebagai lampu. Lantai rumah beralaskan tikar yang katanya dianyam sendiri.  
Melihat wajah Ammatoa yang sangat ramah menghilangkan segala fikiran buruk saya tentang sosok Ammatoa, isi rumahnya beserta keluarganya. Ternyata sangat berbeda dengan dugaan saya. Setelah berbincang-bincang dengan sang Ammatoa, saya sendiri jadi tahu lebih banyak lagi informasi tentang desa iniyang menolak modernisasi karena ingin bertahan dengan adat lama yang sudah digariskan dari keturunan mereka yang terdahulu. Di dalam kawasan adat Ammatoa ini tidak ada fasilitas umum seperti pasar dan sekolah. Karena itu apabila ingin membeli bahan makanan dan lainnya, mereka harus pergi ke pasar yang ada di luar kawasan ini, begitu pun dengan anak-anak yang mau bersekolah, tidak ada larangan bagi mereka, mereka bisa bersekolah di luar kawasan ini tetapi tetap membawa adat istiadat desa Ammatoa.
Seperti yang kita ketahui selama ini, bahwa Kajang dan kawasan Adat Desa Ammatoa identik dengan warna hitam yang banyak disalahartikan oleh kebanyakan orang bahwa warna hitam itu berbau mistis. Sebenarnya pakaian yang mereka gunakan itu berwarna hitam putih, dimana penutup kepala, pakaian, dan celana berwarna hitam, sedangkan pakaian dalam berwarna putih merupakan simbol dari warna bola mata kita, hitam dan putih dan tidak memakai alas kaki. Saya sedikit heran ketika memasuki kawasan ini, ada banyak anak-anak dan remaja yang memakai pakaian bukan berwarna hitam. Ternyata, pakaian warna hitam hanya wajib digunakan bagi mereka yang berusia > 40 tahun.
Sebelum anak-anak mereka diperbolehkan untuk menikah, mereka harus terlebih dahulu bisa bekerja di dapur dan di sawah, bisa mengerjakan pekerjaan sehari-hari dalam mengurus rumah dan mencari uang. Bagi wanita harus belajar menenun untuk menghasilkan kain yang bisa mereka jual dan untuk laki-laki belajar menganyam daun lontarak menjadi tikar dan keranjang. Untuk upacara pernikahan, ada beberapa ketentuan tentang mahar yang harus diberikan sang pelamar, yaitu tujuh tae (kerbau) untuk masyarakat kalangan atas, untuk ada’ 5, Pattolu 4 dan untuk karaeng tidak ditentukan berapa, itu tergantung persetujuan kedua belah pihak.
Pekerjaan yang dikerjakan oleh masyarakat desa Ammatoa kebanyakan bertani. Ada banyak lahan yang bisa mereka manfaatkan untuk bertani. Hasil tani merkea dapat mereka jual di pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka. Mereka juga tidak ada larangan untuk bekerja di luar desa Ammatoa, selama mereka masih bisa menjunjung tinggi adat istiadat desa Ammatoa. Ammatoa bercerita bahwa bahkan ada saudaranya yang bekerja di luar negeri tapi ia tetap memegang erat adat istiadatnya.
Kegiatan terbesar yang dilaksanakan yaitu pemilihan ketua Adat Desa Ammatoa yang disebut Angnganro. Karena masa jabatan Ammatoa seumur hidup, maka untuk memilih Ammatoa yang baru harus menunggu sampai tiga tahun setelah kematian sang Ammatoa. Pada tahap terakhir, para kandidat disuruh berwudhu di sebuah sungai yang konon katanya air sungai tersebut merupakan bayangan Zam Zam. Hanya salah satu dari kandidat tersebut yang mendapat restu dari Allah yang akan terpilih, jadi kandidat yang tidak terpilih akan lumpuh, tidak bisa berdiri pada saat itu juga. Sungguh fenomena yang luar biasa dan tidak bisa diterima oleh akal sehat, tapi itu benar terjadi.
Konon katanya, penduduk desa Ammatoa awet muda dan sehat selalu. Kenapa? Karena mereka tidak makan makanan berpengawet, makanannya alamiah, alamnya hijau tidak ada polusi, intinya kehidupan mereka sangat selaras dengan alam.
Kami sedikit kecewa karena waktu yang sangat terbatas membuat kami tak bisa mengutarakan beberapa pertanyaan yang ingin kami tanyakan. Kami pun segera keluar dari kawasan ini sebelum hari terlalu gelap. Ternyata, kawasan adat desa Ammatoa yang saya bayangkan sebelumnya, yang berbau mistis tidak seseram yang saya lihat setelah saya mengunjungi desa ini.

INDIGENOUS AREA AMMATOA

The journey that must be traveled from Bulukumba town to village Ammatoa + 2 hours drive. Along the way, we could see thousands of rubber trees and cocoa are arranged neatly. After reaching the head of tribe’s house, Kajang, we still have to require tens of minutes to the indigenous village of Ammatoa.
        Arriving at Ammatoa, we are briefed before entering, we were also accompanied by a citizen of there who became our guide. There are some rules we must obey. Visitors should wear black, should not be indiscriminate spitting, should not throwing garbage and must not take a pictures Ammatoa, his wife, and the contents of his house.
We had to walk to get into the area, because there is no transportation that can be used in the village Ammatoa. Because the rain had just come down, we passed a rocky road very slippery, so we must be careful and better walking barefoot instead of using sandals, because the ground was too soft. Along the way to the Ammatoa home, I looked around me. Right next to the left as forest, but after walking a little way in, I've found people's homes. Their house is a house on stilts, the walls made ​​of boards, and thatched roofs made ​​of leaves and also they do not paint their houses.
 Until in front of the house Ammatoa, we have to wait their turn to enter. Once inside the house Ammatoa, I pay attention the contents of his house. At the bottom, next to the stairs, there is a small toilet. In front of the house there is no porch. On the right side of the house, there is a kitchen and on the left, the room is empty, probably as a room for receiving guests (living room). On the back of the house that is limited wall is a bed room. There are no wall hangings that are in their home as at home in general. Seen only a small torches are used as lights. Floor mats that he plaited his own.
See the face of Ammatoa that is very friendly eliminating all my bad thoughts about Ammatoa figure, the contents of his home and his family. It turned out very different from my expectations. After talking with the Ammatoa, I myself found out more information about this village who refused to modernize because they want to stay with the old custom that has been outlined from their previous offspring. Within this region there is no custom Ammatoa public facilities such as markets and schools. Therefore, if you want to buy food and other materials, they must go to the market that exists outside of this region, so even with kids who want to go to school, there are no restrictions for them, they can go outside this area but still carries a customs Ammatoa village.
As we know so far, that the Kajang and the Indigenous Villages Ammatoa identical to the black color which many misinterpreted by most people that the black color of mysticism. Actually it's clothing that they use black and white, where head coverings, clothing, and pants is blcak, while white for  underwear while a symbol of our eye color, black and white and are barefoot. I am a bit surprised when entering this area, there are many children and adolescents who are not wearing black. Apparently, black clothing shall be used only for those aged > 40 years.
Before their children are allowed to marry, they must first be able to work in the kitchen and in the field, could do the daily work in a care home and make money. For women must learn to weave to produce fabrics that they can sell and for men to learn to weave lontarak’s leaves into mats and baskets. For the wedding ceremony, there are some provisions of the dowry to be given the applicant, which is seven tae (buffalo) for the upper classes, for  Tae’ 5, Pattolu 4, and for Karaeng not specified how much, it depends on the consent of both parties.
Ammatoa mostly rural employment is farming. There are a lot of land they can use for farming. Their results farmers can they sell in the market to buy their daily needs. They are also no restrictions on working outside the village Ammatoa, as long as they can still uphold the village tradition Ammatoa. Ammatoa told me that there is even his brother who works abroad, but he kept hold of custom.
The largest activity undertaken, the elected of the head of tribe Ammatoa, called Angnganro. Because the tenure of Ammatoa lifetime, then to choose a new Ammatoa have to wait until three years after the death of the Ammatoa. At the last stage, the candidates were told to wudoo in a river that supposedly said river there is a shadow of Zam Zam. Only one of those candidates who received the blessing of God to be elected, a candidate who is elected will be paralyzed, unable to stand on the spot. It's a remarkable phenomenon and can not be accepted by common sense, but it really happened.
It was said that the villagers Ammatoa young and healthy always. Why? Because they do not eat preserved foods, the food is natural, natural green, no pollution, the point of their lives in perfect harmony with nature.
I am slightly disappointed that a very limited time to make us can not ask some questions that  we wanted to ask. We were soon out of the region before the day is too dark. Apparently, the traditional village Ammatoa I had imagined before, that mysticism is not as sordid as I see it after I visited this village. There are some photos that I attach that can be seen below.





Visitors have to wear black clothing